Ayat
ini dijelaskan dalam Tafsir Ath-Thabari (Thabari, 2009, p.
724) bahwa meribakan adalah
menambahkan sesuatu. Dikatakan: Fulan meribakan pada fulan jika dia menambahkan
sesuatu padanya. Tambahan adalah riba. Sesuatu menjadi riba jika dia bertambah
dan membesar dari sebelumnya. Asal riba adalah melebihkan dan menambahkan. Begitu pula yang dikatakan dalam Tafsir
Al-Azhard (HAMKA,
1982, p. 68),
makan riba telah pindah menjadi kata umum. Sebab meskipun riba bukan
semata-mata buat dimakan, bahkan untuk membangun kekayaan yang lain-lain pun, namun asal usaha
manusia pada mulanya ialah “cari makan.” Maka didalam ayat ini diperlihatkanlah
pribadi orang yang hidupnya dari makan riba itu. Hidupnya susah selalu,
walaupun bunga uangnya dari riba telah berjuta-juta. Dia tidak merasai
kenikmatan di dalam jiwa lantaran tempat berdirinya ialah menghisap darah orang
lain. Mengapa demikian? Menjadi demikian, karena sesungguhnya mereka berkata:
Tidak lain perdangan hanyalah seperti riba juga. Artinya karena pendiriannya
menternakkan uang, dia mengatakan bahwa pekerjaan orang berniaga itupun serupa juga
dengan pekerjaannya makan riba, yaitu sama-sama mencari keuntungan atau
sama-sama cari makan.
Jika
menurut tafsir Al-Maragi (Maragi,
1992, p. 101),
sebab-sebab diharamkannya riba oleh agama: 1. Riba bisa menghambat seseorang
dalam mengambil profesi yang sebenarnya, seperti berbagai jenis keahlian dan
perindustrian. Maksudnya, orang yang mempunyai uang dan bisa mengembangkan
kekayaannya dengan jalan riba, maka
orang tersebut akan meremehkan kerja. 2. Riba bisa melahirkan permusuhan,
saling membenci, bertengkar dan saling baku hantam. Sebab, riba itu mencabut
perasaan belas kasihan dari hati, dan mencemarkan harga diri, lantatan riba,
perasaan tolong menolong menjadi lenyap. Sebagai gantinya adalah rasa kejam dan
sadis yang tidak berkeprimanusiaan. 3. Allah SWT. menggariskan cara mu’amalah
antar sesama orang dalam hal bisnis. Mereka, antara satu pihak dengan pihak
yang lain, dibolehkan mengambil keuntungan, sebagai ganti rugi barang
jualannya. Tetapi di dalam riba, uang diambil tanpa adanya pengganti, dan ini
merupakan salah satu perbuatan zalim. Sebab, harta seseorang mempunyai hak dan
larangan. 4. Akibat dari perbuatan riba adalah kerusakan dan kehancuran. Banyak
kita jumpai, bahwa harta seseorang ludes, rumah tangganya hancur, karena mereka
memakan riba.
Kemudian
menurut tafsir Al-Qurthubi (Qurthubi, 2007,
p. 768) ,
bahwa firman Allah SWT, “Orang-orang yang makan (mengambil) riba.” Pada ayat ini, kata
mengambil diibaratkan dengan memakan,
karena maksud sebenarnya dari pengambilan riba memang untuk dimakan. Firman
Allah SWT, “Keadaan mereka yang demikia
itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu
sama dengan riba.” Para pentakwil Al-Qur’an sepakat bahwa yang mengatakan
ini adalah orang-orang kafir. Alasannya adalah lanjutan dari ayat ini yang
menyebutkan, “Maka baginya apa yang telah
diambilnya dahulu. Maka
jika dikaitkan dengan penjelasan tafsir menurut
Tafsir Ibnu Katsir (Katsir,
2004, p. 546) , bahwa
Orang-orang
yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.” Artinya, mereka
tidak dapat berdiri dari kuburan mereka pada hari hari kiamat kelak kecuali
seperti berdirinya orang gila pada saat mengamuk dan kerasukan syaitan.
Penulis:
Mahasiswa Ilmu Pendidikan Agama Islam
Universitas Pendidikan Indonesia
Kota Bandung
No comments:
Post a Comment