Dari berbagai tafsir yang dijadikan referensi,
diantaranya (Maragi, 1992), (Shihab, 2002), (HAMKA, 1982) menerangkan bahwa
mencela orang yang memakan riba seraya menyamakan mereka dengan orang yang
berdiri gontai laksana berdirinya orang yang kerasukan setan; lupa diri dan
ingatan, alias tidak waras. Celaan ini sangat keras, bahkan sangat menyakitkan.
Sebab, Allah Swt. bukan hanya mencela, tetapi telah menyamakan orang yang
dicela dengan orang yang kerasukan setan. Sebagian ahli tafsir, seperti
as-Syaukani, menafsirkan lâ yaqûmûna (tidak bangkit) adalah tidak bangkit pada
Hari Kiamat. Artinya, pada Hari Kiamat kelak, orang yang memakan riba akan
dibangkitkan menjadi gila sebagai siksaan bagi mereka.
Orang yang telah memakannya sebelum diturunkannya
hukum riba, kemudian setelah hukum tersebut turun, dia menghentikan praktik
riba, masih mempunyai hak atas harta yang diperolehnya di masa lalu, dan
urusannya diserahkan kepada Allah. Akan tetapi, jika setelah diturunkannya
hukum tersebut mereka masih mengulangi praktik yang sama, maka mereka adalah
para penghuni neraka yang akan kekal di dalamnya. Selanjutnya, dalam surah
al-Baqarah ayat 276, Allah menegaskan, bahwa Dia memusnahkan riba dan
menyuburkan sedekah. Allah menyatakan demikian untuk membalik persepsi, bahwa
sekalipun secara matematis riba menguntungkan, di sisi Allah dinihilkan.
Sebaliknya, sedekah yang secara matematis merugikan, karena harta yang
disedekahkan berkurang, di sisi Allah justru dilipatgandakan. Dalam surah
al-Baqarah ayat 277, Allah menegaskan bahwa orang-orang beriman, beramal salih,
menegakkan shalat dan menunaikan zakat telah mendapatkan pahala di sisi Tuhan
mereka dan tidak ada sedikitpun rasa takut dan sedih pada diri mereka.
Dalam ayat berikutnya, Allah memerintahkan agar
orang-orang yang beriman agar bertakwa kepada Allah dan meninggalkan semua
bentuk riba, jika mereka memang termasuk orang-orang Mukmin Ungkapan ittaqû
Allâh (bertakwallah kepada Allah) ini mempunyai makna yang mendalam; sama
dengan “jagalah dirimu dari kemurkaan dan azab Allah sebagai konsekuensi dari
sikap dan tindakanmu.” Inilah makna yang terngiang-ngiang dalam benak orang
Mukmin ketika diingatkan dengan: ittaqû Allâh. Ini dinyatakan terlebih dulu
untuk menggugah kesadaran pihak yang diseru agar melaksanakan perintah dan
meninggalkan larangan-Nya. Setelah itu, baru diperintahkan agar meninggalkan
semua bentuk riba, baik yang al-fadhlmaupun an-nasî’ah, disertai dengan
peringatan dalam bentuk kalimat bersyarat: in kumtum mu’minîn (jika kalian
memang beriman). Kalimat ini merupakan ancaman terhadap orang yang masih
mempraktikkan riba setelah turunnya larangan ini, yang diancam dengan
“kehilangan iman”. Artinya, jika ia masih melakukan praktik riba, berarti ia
tidak beriman kepada Allah, alias kufur kepada-Nya.
Penulis:
Rijki Ramdani
Mahasiswa Ilmu Pendidikan Agama Islam
Universitas Pendidikan Indonesia
Kota Bandung
No comments:
Post a Comment